Sejarah Katekese
Menurut Abineno, sejarah katekisasi dibagi ke dalam 6 zaman, yaitu:
1. Pada zaman Perjanjian Baru
Pada zaman ini katekisasi gerja masih sangat sederhana. Unsur pengakuan iman misalnya tidak lebih panjang dari pengakuan, bahwa Yesus adalah Tuhan.Bimbingan ethis dan doa juga penting dalam katekisasi jemaat- jemaat purba.Misalnya bentuk yang tetap dari doa Bapa Kami dalam Matius 6:9 – 15.
2. Pada abad Pertama
Pada masa ini orang sudah memakai katekismus yaitu Didakhe atau ajaran kedua belas Rasul. Katekismus ini berasal dari lingkungan orang- orang Kristen Yahudi dan ditulis sekitar tahun seratus Masehi.Isinya adalah kedua jalan atau hukum- hokum untuk hidup orang Kristen, petunjuk liturgis untuk pelayanan Baptisan dan perjamuan malam, peraturan –peraturan untuk hidup jemaat dan pejabat- pejabatnya, dan nasihat yang bersifat eskatologis.
Dalam abad kedua katekisasin umat makin berkembang dan memperoleh bentuk- bentuk yang tertentu sebagai katekumenat yang terdiri dari dua tingkatan yaitu katekumin- katekumin atau pengikut katekisasi, dan tingkat calon –calon baptisan.
3. Zaman abad Pertengahan
Dalam abad –abad ini katesasi gereja makin lama makin mendangkal.Katekisasi tidak lagi diberikan kepada anak- anak dari keluarga- keluarga Kristen, tetapi hanya diperuntukan kepada orang- orang yang berpindah dari agama kafir ke agama Kristen sebagai persiapan untuk menjadi anggota gereja.
Dalam abad ke delapan dan sembilan ketika berita injil disampaikan kepada bangsa- bangsa German,katekisasi gereja mengalami suatu perubahan.Pada waktu itu dituntut lagi bahwa orang- orang yang mau menerima baptisan harus dipersiapkan dengan baik.Setelah Eropa di-Kristenkan, pengajaran katekisasi merosot lagi seperti dahulu dan hanya terdiri dari penghafalan pengakuan iman dan doa, pengenalan akan sakramen- sakramen dan upacara- upacaranya dan pengetahuan akan daftar- daftar dosa, pengakuan dosa yang makin lama makin besar memainkan peranan.Pengakuan dosa merupakan semacam “kursi pengadilan” rohani,yang dengan keputusan- keputusan dan hokum- hukumnya mencakup seluruh hidup anggota jemaat bahkan sampai pada akhirnya Alkitab tidak mendapat tempat sebagai bahan khusus dalam katekisasi.Ia memang kdang- kadang dikutip tetapi hanya untuk menjelaskan bahan- bahan yang harus dipelajari.
4. Pada zaman Reformasi.
Alkitab menjadi pusat dalam teologi dan dalam praktek gereja.Penempatan ini menimbulkan perubahan besar di bidang katekisasi.Dalam zaman reformasi ini perubahan berlangsung di tiga bidang,yaitu:
- Isi katekisasi, yaitu Alkitab menjadi sentral dalam katekisasi.Untuk dapat memahami bahan- bahan yang harus dipelajari dengan baik, pesert- peserta katekisasi disuruh menghafal sejumlah nas dan mempelajari beberapa cerita Alkitab.Bahkan pada abad ketujuh belas cerita- cerita Alkitab oleh pengaruh pietisme mendapat tempat yang khusus dalam katekisasi.
Ruang cakup katekisasi, yaitu mencakup semua orang.Sebab sebagai imam, orang- orang percaya menurut para reformator harus selengkap dan sebaik mungkin mengetahui kebenaran yang ia percayai.Teologia harus menjadi milik dar semua orang.Luther berpendapat bahwa tempat katekisasi adalah keluarga dan sekolah.Gereja mempunyai tugas lain yaitu memberikan penjelasan lebih luas oleh khotbah katekismusnya tentang apa yang dipelajari dalam katekisasi.Sedangkan Swingli, katekisasi sebenarnya adalah tugas pokok dari gereja.Karena itu ia berusaha memperoleh ruang dimana gereja dapat menunaikan tugas ini antara laindengan mengumpulkan ank- anak untuk mempelajari pengakuan iman dan doa.Calvin juga setuju dengan Swingli.Pada tahun 1536 ia menerbitkan iktisar dari institusionya sebagai katekismus dalam bahasa Perancis.
Katekisasi Calvinis
Dalam mengembangkan katekisasi untuk lebih mengena kepada kebenarannya sebaiknya kita kembali menoleh kebelakang apakah yang dimaksud oleh Calvin dengan katekese atau Pengajaran Agama Kristen. Bagi Calvin[8] :
Pengajaran Agama Kristen adalah pemupukan akal orang-orang percaya dan anak-anak mereka dengan Firman Allah dibawah bimbingan Roh Kudus melalui sejumlah pengalaman belajar yang dilaksanakan gereja sehingga dalam diri mereka dihasilkan pertumbuhan rohani yang berkesinambungan yang diejawantahkan semakin mendalam melalui pengabdian diri kepada Allah Bapa TuhanYesus Kristus berupa tindakan kasih terhadap sesama.
Sebagai manusia yang dipilih dalam Yesus Kristus dan dijadikan “anak-anak” gereja sang ibu, Calvin menegaskan bahwa sewajarnyalah mereka dibesarkan dalam lingkungan luas pedagogisnya. Namun ia mengingatkan bahwa Ibu tidaklah mendidik dengan sumber kepunyaananya sendiri tapi dengan Firman yang dikenakan Roh Kudus kepada pelajar. Putra-putri gereja tidak akan pernah tamat sekolahnya karena sepanjang hidup dia harus belajar semua diharapkan terlibat dalam pengalaman pengalaman belajar dengan demikian mereka semakin disiplin dalam pengabdian dan pelayanan kasih dimasyarakat.
Berdasarkan pengertian tersebut Calvin merumuskan tujuan Pendidikan Agama Kristen sebagai berikut:
Tujuan Pendidikan Agama Kristen ialah mendidik semua putra - putri sang Ibu (gereja) agar mereka dilibatkan dalam Penelaahan Alkitab secara cerdas sebagaimana dibimbing oleh Roh Kudus, diajar mengambil bagian dalam kebaktian serta mencari keesaan gereja, diperlengkapi memilih cara-cara mengejawantahkan pengabdian diri kepada Allah Bapa Yesus Kristus dalam gelanggang pekerjaan sehari-hari serta hidup bertanggungjawab di bawah kedaulatan Allah demi kemuliaanNya sebagai lambang syukur mereka dipilih dalam Yesus Kristus.
Tujuan pengajaran ini telah dijabarkan oleh Calvin dalam katekismus Jenewa atau Indtitutio bahwa mendidik anak-anak secara benar, tertib dan berdaya guna dalam ajaran Kristen sudah menjadi kebiasaan dan keprihatinan gereja sejak waktu lama. Bahkan ada kecendrungan menguji anak-anak di depan jemaat tentang pokok-pokok yang selayaknya diketahui dan diterima oleh pelajar. Karena kepentingan pengajaran tersebut Calvin membuat peraturan yang dikeluarkan Sinode dan Kotapraja Jenewa pada tahun 1547 dimana setiap pendeta melayani dua jemaat sekaligus: anak-anak dilayaninya melalui kelas katekisasi dan jemaat dewasa melalui kebaktian umum, khususnya khotbah. Karena begitu pentingnya pendidikan bagi Calvin sehingga anak-anak tidak boleh diserahkan kepada sembarangan orang dan bahan studi harus disesuaikan dengan anak didik serta pendekatan mengajar sangatlah pentingnya dan katekisme hendaklah memupuk hubungan oikumenis. Sehingga metode pengajaran katekisasi yang ditetapkan Calvin sangat menekankan kehadiran di ibadah serta menggali pengetahuan dan mendapatkan pemaham tentang setiap pengajaran ( band. Th. Van den End, Enam Belas Dokumen Dasar Calvinis)
- Isi katekese
Calvin dalam bukunya Instutio secara keseluruh meletakkan dasar teologi pengajarnnya atas 5 hal yakni:
a. Kedaulatan Allah.
Allah yang wajib dilayani itu berdaulat atas diri-Nya dan semua pembicaraan manusia tentang Allah harus bertitik tolak dari sudut bagaimana Allah sendiri ingin diketahuinya
b. Alkitab sebagai Firman Allah.
Bila manusia ingin mengatahui kedaulatan Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus maka sumber pengetahuan tersebut di dapati dalam Alkitab Firman yang tertulis
c. Ajaran tengan manusia
d. Ajaran tentang Gereja
e. Ajaran tentang hubungan gereja dengan negara
Dari kelima dasar teologi tersebut ia mengembangkan ruanglingkup katekismusnya dengan empat tema pokok yaitu:Iman, Hukum, Doa dan Sakramen-sakramen. Bila kita masuk peda isi pokok pembelajaran yang disediakan oleh Calvin maka kita akan menemukan banyak pertanyaan (373) karena katekismusnya telah disusun dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan.Bentuk pengajaran seperti ini tentu saja akan membutuhkan pengajar yang tertib dan kemampuan belajar untuk mengajar.
Cara mempelajari bahan katekisasi:Luther menuntut agar para pengikut katekisasi harus mengerti apa yang dipelajarinya.Pengetahuan dengan otak dan pengetahuan dengan hati hars berjalan bersana- sama.Injil harus dapat dimengerti dengan otak dan dapat dipahamidengan hati.Oleh karena itu penjelasan katekismus harus sesuai dengan daya tangkap anak- anak.
5. Zaman Zending Belanda
Kebiasaan- kebiasaan yang dipakai oleh gereja- gereja di Eropa di bidang katekisasi di bawah masuk oleh pendeta- pendeta Zending ke Indonesia.Salah satu dari kebiasaan itu adalah katekisasi yang erat dihubungkan dengan pengajaran agama di sekolah.Dalam Sidang Raya Agung tahun 1624 di Betawi ditetapkan bahwa anak- anak Belanda dan bukan Belanda harus dididik secara Kristen di sekolah dan bahwa untuk pelajan agama selanjutnya anak- anak itu harus mengunjungi pengajaran katekisasi gereja.Lanjutan pengajaran agama di sekolah adalah pengajaran katekisasi yang diberikan oleh pendeta- pendeta di gereja.Salah satu buku katekisasi yang paling besar dan paling lama memainkan peranan dalam pelayanan jemaat di gereja- gereja di Indonesia adalah buku Tanya jawab yang ditulis oleh Marnix van St.Aldegonde.
6. Zaman Sekarang
Dalam hal pengajar katekisasi pada zaman sekarang adalah orang- orang yang telah memperoleh Pendidikan Agama Kristen.Dimana mereka memiliki pengetahuan tentang bahan –bahan katekisasi yang mereka gunakan, metode pengajaran, alat- alat Bantu untuk katekisasi, dan lain – lain.Juga buku- buku yang digunakan dalam pengajaran katekisasi tidak sama dengan buku- buku yang digunakan pada waktu zending, walaupun Katekismus Heidelberg, katekismus kecil, dari Luther masih ada gereja yang menggunakannya.
sumber katekese ini
BalasHapussumber katekese itu
BalasHapus